MUSI RAWAS MT- Hj Suwarti Burlian dikenal masyarakat luas sebagai sosok perempuan tangguh. Kiprahnya tak hanya sebagai politikus ulung, wanita yang mengawali Karier sebagai bidan desa ini juga dikenal dermawan dan tanpa pamrih pada siapapun warga yang membutuhkan bantuannya.
17 tahun mengabdi sebagai bidan desa dan bertugas di SP 3 Trans Subur, Suwarti harus bolak balik Megang Sakti dimana dirinya membuka klinik kecil.
“Bertugas sebagai bidan desa tentu hal dasar yang harus ditanamkan dalam hati adalah bertanggung jawab dengan profesi yang diemban. Agar kerjanya ikhlas tak hanya melayani warga tetapi lebih mengambil peran untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan kesehatan,” jelasnya.
Sembari mengingat kenangan masa lalunya sebagai bidan desa, Hj Suwarti sesekali menaikkan kacamatanya yang hampir turun. Terlebih mengingat perjuangan yang tidak mudah, namun berbekal dengan niat ikhlas dia harus bolak balik Trans Subur ke Megang Sakti nyaris tanpa keluh kesah. Dibonceng motor oleh sang suami, (alm) H Burlian, Suwarti tiap hari bolak balik Trans Subur Megang Sakti.
“Saya dulunya bertugas sebagai bidan untuk warga transmigrasi di daerah Trans Subur atau lebih dikenal dengan program Pansos Bodronoyo dan ini sistem berobatnya gratis,” jelas Suwarti.
Sebagai seorang bidan desa kala itu, dirinya dituntut serba bisa. Tak hanya menolong para ibu melahirkan, namun dia juga harus bisa mengatasi keluhan penyakit warga yang datang berobat kepadanya.
“Kalau mau berobat ke dokter kan jauh, karena dokter hanya bertugas di kecamatan. Jadi bidan harus tanggap bisa mengatasi semuanya. Tiap hari ratusan pasien yang datang ke tempatnya bertugas, karena zaman itu tidak ada warung. Jadi tidak hanya pasien yang saya urusin makan dan minumnya, tapi terkadang keluarga pasien yang ikut menunggu pun ikut saya urus,” kenangnya.
Kendati demikian, Suwarti selalu bersyukur, bahwa dirinya masih bisa membantu sesama yang membutuhkan. Bagi dirinya tak hanya rupiah yang bernilai namun kesembuhan pasien jauh memberi makna dan kepuasan tersendiri.
“Rumah saya itu sudah jadi dapur umum dari dahulu bagi keluarga pasien, mau makan ataupun ngopi silahkan ke belakang. Dengan cara kita memperlakukan pasien seperti itu, mereka yang bukan siapa-siapa malah jadi seperti keluarga,” selorohnya.
“Keinginan untuk mengabdi membuat saya menjalani semuanya dengan sabar, kondisi dulu berbeda dengan sekarang yang sudah serba canggih. Namun badan capek maupun letih seketika hilang saat pasien datang berobat puas dengan pelayanan yang saya berikan,” tambahnya.
Tentu setelah mengabdi sebagai bidan desa belasan tahun lamanya, Hj Suwarti punya banyak pengalaman mengobati warga sakit. Terlebih kala itu profesi dokter tidak menjamur seperti saat ini, otomatis hanya bidan dan mantrilah yang keberadaanya sangat membantu masyarakat desa.
“Niatnya bantu masyarakat dengan ilmu yang saya miliki, jadi kalau ada warga datang berobat saat tahun 1982 sampai tahun 1999 dibayar seadanya. kadang dibayar dengan beras, kadang dibayar dengan ayam dan ada juga yang memang bayar pakai uang. Niat awalnya kan mau bantu masyarakat, jadi dibayar pake apa saja saya terima. Saya itu mengabdi jadi bidan dari harga emas masih Rp 11 ribu/gramnya, kalau kita nyumbang (kondangan, red) masih seribu, jadi dibayar dengan beras kelapa ataupun ucapan terima kasih saya sudah sangat bersyukur,”jelasnya.(*)